Oleh Mudjahirin Thohir
(1) Kebudayaan itu
bisa dilihat dan didefinisikan secara berbeda ketika kita menggunakan acuan
pendekatan yang tidak sama: materialisme, behaviorisme, dan ideasional. Pada
pandangan materialisme, kebudayaan dilihat pada “materi” , yakni pada produk
yang dihasilkan dan karena itu bisa diobservasi. Pada pendekatan behaviarisme,
kebudayaan dilihat sebagai pola-pola tindakan. Sementara pada pendekatan
ideasional, kebudayaan tidak dilihat dari wujud (produks) atau tindakan yang
berpola, tetapi kepada idea atau keseluruhan pengetahuan yang memungkinkan
produk dan perilaku yang ditampakkan. Saya sendiri lebih tertarik melihat
kebudayaan pada pendekatan ideasional itu. Dari sini lalu, kita bisa
mendifinisikan kebudayaan Indonesia adalah serangkaian gagasan dan pengetahuan
yang telah diterima oleh masyarakat-masyarakat Indonesia (yang multietnis) itu
sebagai pedoman bertingkahlaku dan menghasilkan produks-produk kebudayaan itu
sendiri. Hanya persoalannya, ide-ide dan pengetahuan masyarakat-masyarakat
Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan, baik karena factor internal
maupun eksternal.
(2) Sebelum merdeka,
kebudayaan Indonesia disebut sebagai kebudayaan Nusantara, yakni kebudayaan
yang hidup dan menjadi serta dijadikan pedoman oleh masyarakat-masyarakat etnik
yang ada dan menyebar di berbagai pulau di Nusantara. Kebudayaan-kebudayaan
local (etnik) ini – dalam sejarahnya bersentuhan bahkan dipengaruhi oleh
peradaban-peradaban besar, seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen. Tingkat
pengaruh peradaban-peradaban besar tadi, dalam batas-batas tertentu, pada
masing-masing lokalitas masyarakat tidak sama. Kebudayaan masyarakat Bali
misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh peradaban (agama) Hindu.
Masyarakat-masyarakat (umumnya di daerah pesisir/pantai) yang dalam sejarahnya
dikunjungi oleh para pedagang dan sekaligus penyiar Islam, kebudayaannya sangat
dipengaruhi oleh peradaban Islam. Suku-suku bangsa yang lain yang kemudian
menjadi sasaran missionaries Kristen, kebudayaannya dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran Kristiani. Pengaruh-pengaruh peradaban-peradaban besar seperti
itu, dalam prosesnya tidak serta merta diterima, tetapi ada perlawanan
cultural, meskipun pada akhirnya terjadi penyesuaian-penyesuaian (adaptasi)
sehingga terjadi percampuran. Ini artinya, pada masing-masing masyarakat
pemilik kebudayaan (etnik) atau local tadi, tidak dalam satu suara, sehingga
pada masing-masing kesatuan masyarakat itu sendiri tidak menunjukkan satu warna
budaya. Pada masyarakat Jawa, periode (datang dan menyebarnya Islam) misalnya,
menunjukkan gambaran seperti itu, sehingga lahir kelompok-kelompok masyarakat
yang lebih mengutamakan peradaban Islam (puritan) dan masyarakat yang lebih
bertumpu pada kebudayaan local seperti Kejawen.Pengelompokan masyarakat yang
berbeda-beda seperti itu, dalam batas-batas tertentu bisa hidup bersama secara
berdampingan, tetapi juga bernuansa konflik (cultural). Konflik seperti ini
semakin dikukuhkan ketika memasuki medan kehidupan lain seperti ekonomi, dan
politik. Dengan demikian, kebudayaan Indonesia sejatinya adalah kebudayaan
multi kultur.
(3) Kebudayaan Indonesia yang multikultur
seperti itu, ketika dikaji dari sisi dimensi waktu, dapat dibagi pula
pengertiannya.
a. Pertama, kebudayaan
(Indonesia) adalah kebudayaan yang sudah terbentuk. Definisi ini mengarah
kepada pengertian bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan pengetahuan
yang tersosialisasi/internalisasi dari generasi-generasi sebelumnya, yang
kemudian digunakan oleh umumnya masyarakat Indonesia sebagai pedoman hidup.
Jika dilacak, kebudayaan ini terdokumentasi dalam artefak/atau teks.
Melihat kebudayaan dari sisi ini, kita akan mudah terjebak kepada dua
hal. Pertama, apa yang sudah ada itu diterima sebagai sesuatu yang sudah baik
bahkan paripurna. Ungkapan seperti kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang
adiluhung, merupakan contoh terbaiknya. Di sini, apa yang disebut kebudayaan
adalah dokumen text (Jawa termasuk sastra-sastra lisan) yang harus dijadikan
pedoman kalau kita tidak ingin kehilangan ke-jawa-annya. Ungkapan: “ora Jawa”
atau “durung Jawa” adalah ungkapan untuk menilai laku (orang Jawa) yang sudah
bergeser dari text tersebut.
b. Kedua, kebudayaan
(Indonesia) adalah kebudayaan yang sedang membentuk. Pada definisi kedua ini
menjelaskan adanya kesadaran bahwa sebetulnya, tidak pernah (baca: terlalu
sedikit) ada masyarakat manapun di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan
kebudayaan dan peradaban lain, termasuk kebudayaan Indonesia atau kebudayaan
Jawa. Hanya saja ada pertanyaan serius untuk memilih definisi kedua ini, yaitu
bagaimana lalu kebudayaan kita berdiri tegak untuk mampu menyortir berbagai
elemen kebudayaan asing yang cenderung capitalism yang notabene, dalam
batas-batas tertentu, negative (baca: tidak cocok)? Pada saat yang sama,
kebudayaan global yang kapitalistik itu, telah masuk ke berbagai relung-relung
kehidupan masyarakat “tanpa” bisa dicegah. Kalau begitu, pertanyaannya ialah:
membatasi, menolak, atau mengambil alih nilai-nilai positif yang ditawarkan.
Persoalan seperti ini dulu sudah pernah menjadi perdebatan para ahli
kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Armen Pane dkk versus Sutan Takdir
Alisyahbana (Lihat pada buku Polemik Kebudayaan), dan sampai sekarang pun sikap
kita tidak jelas juntrungnya.
c.
Ketiga, adalah kebudayaan
(Indonesia) adalah kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk. Ini adalah
definisi yang futuristic, yang perlu hadir dan dihadirkan oleh warga bangsa
yang menginginkan Indonesia ke depan HARUS LEBIH BAIK. Inilah yang seharusnya
menjadi focus kajian serius bagi pemerhati Indonesia, wa bil khusus para
mahasiswa dan dosen-dosen ilmu budaya.
(4) Melihat kebudayaan Indonesia dewasa
ini dan ke depan adalah menempatkan kebudayaan sebagai piranti kehidupan
masyarakat Indonesia yang memiliki keunggulan-keunggulan (competitive) di
antara kebudayaan-kebudayaan bangsa lain termasuk kebudayaan global yang
bercorak dan berisme kapitalistik itu. Bagaimana caranya? Jawabannya tentu
tidak bisa spontan, kecuali kalau kita menyukai segala sesuatu termasuk
persoalan yang serius sekalipun dengan jawaban-jawaban instan.
Untuk itu, perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas
Ilmu Budaya, seharusnya para stakeholder yang ada di dalamnya memiliki
kesanggupan secara amat serius untuk memulai mengkaji ulang artefak-artefak dan
dokumen-dokumen (teks) yang tersebar di Nusantara, menyarikan, membandingkan
dengan kebudayaan-kebudayaan di luarnya, dan kemudian menentukan arah kemana
kebudayaan masyarakat Indonesia akan dibawa.***
Sumber : http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/04/20/kebudayaan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar