Kamis, 29 Maret 2012

[PERTEMUAN V - VIII] Etika & Profesionalisme TSI

CYBERLAW

Cyberlaw merupakan salah satu solusi dalam menangani kejahatan di dunia maya yang kian meningkat jumlahnya. Cyberlaw bukan saja keharusan, melainkan sudah merupakan suatu kebutuhan untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu banyaknya berlangsung kegiatan cybercrime. Tetapi Cyberlaw tidak akan terlaksana dengan baik tanpa didukung oleh Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan ahli dalam bidangnya. Tingkat kerugian yang ditimbulkan dari adanya kejahatan dunia maya ini sangatlah besar dan tidak dapat dinilai secara pasti berapa tingkat kerugiannya. Tetapi perkembangan cyberlaw di Indonesia ini belum bisa dikatakan maju. Oleh karena itu, pada tanggal 25 Maret 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE ini mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Sejak dikeluarkannya UU ITE ini, maka segala aktivitas didalamnya diatur dalam undang-undang tersebut. Cyberlaw ini sudah terlebih dahulu diterapkan di Negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan lain sebagainya.

Perkembangan Cyberlaw di Indonesia

Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam  perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan  password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar