CYBERLAW
Cyberlaw
merupakan salah satu solusi dalam menangani kejahatan di dunia maya
yang kian meningkat jumlahnya. Cyberlaw bukan saja keharusan, melainkan
sudah merupakan suatu kebutuhan untuk menghadapi kenyataan yang ada
sekarang ini, yaitu banyaknya berlangsung kegiatan cybercrime. Tetapi
Cyberlaw tidak akan terlaksana dengan baik tanpa didukung oleh Sumber
Daya Manusia yang berkualitas dan ahli dalam bidangnya. Tingkat kerugian
yang ditimbulkan dari adanya kejahatan dunia maya ini sangatlah besar
dan tidak dapat dinilai secara pasti berapa tingkat kerugiannya. Tetapi
perkembangan cyberlaw di Indonesia ini belum bisa dikatakan maju. Oleh
karena itu, pada tanggal 25 Maret 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
UU ITE ini mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang
memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun
pemanfaatan informasinya. Sejak dikeluarkannya UU ITE ini, maka segala
aktivitas didalamnya diatur dalam undang-undang tersebut. Cyberlaw ini
sudah terlebih dahulu diterapkan di Negara seperti Amerika Serikat,
Eropa, Australia, dan lain sebagainya.
Perkembangan Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999.
Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan
sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan
agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan
undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih
spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk
hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital
signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika
digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal
seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya
ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan
“cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain
adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking,
pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan,
masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi.
Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang
mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya
ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan
Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker
dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di
Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu
pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya
terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan.
Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini
akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki
oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker
ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan
kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan
ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar